Desember 23, 2006

kukku


AAA…!
Suaranya nyaring terdengar ke seluruh kontrakan. Suasana yang tak lazim itu membuat semua penghuni dan pengunjung kontrakan keluar. Semua mempertanyakan tanpa mendapat jawaban.
Seorang ibu tua yang mengontrak ruko paling depan berteriak seperti orang kerasukan,
“tobat Gusti, tobat! Sesekali ibu itu mengerang
“jangan kiamat hari ini Gusti…!”
orang di sekitar ibu itu langsung menenangkan dan membisiki sebaris kata-kata dekat dengan telinganya. Entah kenapa, ibu itu langsung tenang, tanpa perlawanan sedikitpun. Ketika suasana lumayan reda, jalanan lenggang, penghuni ruko pun kembali melanjutkan aktivitas mereka berjualan pakaian, makanan, minuman dan lain-lain.
Penghuni ruko rata-rata memang pedagang, walaupun sebagian hanya memilih untuk menjadikannya tempat tinggal. Maklum saja ruko itu terletak di daerah strategis, dekat dengan jalan dan tepat di samping sekolah bertaraf international. Tak heran, walaupun banyak kejadian, para penghuni itu tetap bertahan.

AAA…!
Kali ini pemuda itu, sebut saja Hamdan berteriak lebih kencang. Walaupun Hamdan sudah bersembunyi di loteng, tetap saja suara Hamdan menelusup melalui pori-pori atap dan berujung pada telinga seluruh penghuni kontrakan. Air matanya keluar. Tapi, bukan tangisan. Mukanya merah, tapi bukan marah. Gigi-giginya saling beradu, tangannya erat menggenggam siku atap yang kokoh menopang atap dan di jempol kakinya mengucur deras darah segar.
Merah darah itu seperti tersumbat sesuatu. Pecahan kuku kaki itu masih menggantung.
---
Tiga hari lalu Hamdan tidak seperti ini, Hamdan biasa saja, segar bugar. Namun, ketika Hamdan sedang asyik menonton film porno di rumah tetangga. Sang ema memanggil. Hamdan terburu-buru. Tanpa terasa kaki Hamdan menendang batu, kuku jempol kakinya pecah. Akan tetapi, panggilan ema yang melebihi deru halilintar mengalahkan rasa sakit yang sangat itu.
Hari kedua Hamdan hanya mengobati kakinya dengan revanol sambil berfikir bahwa ini adalah keapesan dari menonton film porno dan hari ketiga Hamdan memberanikan diri untuk mencabut pecahan kuku kakinya. Hamdan sudah memperkirakan hal ini pasti akan sangat menyakitkan. Loteng ruko pun dipersiapkan. Sekalipun, Hamdan menangis nantinya, toh tidak ada yang akan tahu. Hanya tikus-tikus dan debu-debu sebagai saksi bisu. Perkiraan ini pun tidak meleset sedikitpun sakitnya sangat menyakitkan sudah dua teriakan keluar dari bibir Hamdan. Namun belum juga kukunya itu copot.

AAA…!
Teriakan ketiga, Hamdan kerahkan semua tenaga untuk menarik dan menahan rasa sakit. Dalam rasa sakitnya. Hamdan tenggelam dalam, terbayang kenangan masa kecil, Hamdan terbayang senyuman emanya.
Hamdan terbangun di kasur empuk emanya. Sebuah nasi bungkus sudah bertengger di sisinya. Dibukanya, coba disantap, tak ada rasa apapun yang melekat. Hanya sakit yang masih terasa pada jempol kakinya. Ingin rasanya Hamdan memotong jempol kakinya saat itu. Sudah dicoba untuk menikmati kesakitan paling puncak dan berharap akan tiba redanya rasa sakit. Akan tetapi, sakitnya masih seperti tiga hari yang lalu. Tak lama berselang, emaknya datang bersama seorang pria setengah baya berpakaian putih-putih. Tanpa instruksi apapun dari emak, pria setengah baya itu langsung mendekati kaki Hamdan dan menarik sekali lagi kukunya. Ternyata perjuangan Hamdan sedikit sia-sia kemarin, karena tidak terkontrol kuku kaki Hamdan tidak copot secara utuh, ada bagian yang patah. Hamdan kembali meneteskan air mata ketika pria berseragam putih-putih menarik kukunya sebentar, hanya sebentar.
Ternyata perjalanan tidak akan selalu seperti yang kita bayangkan. Ada bagian-bagian yang akan tertulis secara khusus dan rapih dan ada bagian yang hanya akan sekedar lewat. Hamdan merasakan itu, dia menganggap kejadian itu adalah bagian yang akan teringat dan sebagai kenangan yang tak terlupakan, walaupun hanya sebuah kuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar