Tahukah anda! Maxim seorang berwarga kenegaraan Belanda dan seorang jurnalis pertama di kepulauan Hindia, mati karena menginformasikan kebejatan negaranya sendiri kepada rakyat hindia, padahal itu adalah fakta?. Tahukah anda Udin Bernas hilang, juga karena ingin menyampaikan fakta yang terjadi di Bantul.
Informasi faktual kadang seperti momok menakutkan bagi pihak-pihak yang berkuasa. Sebab, bisa jadi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya memberontak karena tahu penguasa itu lalim. Hal inilah yang mengakibatkan pers seringkali dijadikan lahan perebutan, karena pemberitaan sangat efektif dalam kaitannya dengan opini publik. Hingga terdapatlah sebuah kode etik Pers dan Jurnalistik, yang langsung membedakan pers hitam dan pers putih.
Pers = Detektif
Pers dalam perjalanannya seringkali menemukan sintesa baru. Dimana informasi yang telah didapat dan dirangkum kadang kala mengarah pada sesuatu yang lebih besar dan menarik. Sampai berita dengan isu yang bersifat nasional harus dihentikan sebelum data mengarah pada data yang lebih besar atau mereka akan sibuk mencari kambing hitam yang bisa dijadikan diversi.
Mengutip kata-kata Pram “Kebenaran tidak turun dari langit, kebenaran harus diperjuangkan untuk menjadi benar”, dan pribahasa timur katakan kejujuran walau kejujuran itu sakit. Maka tak heran pers seringkali menyerempet bahaya yang kadang kala membahayakan nyawa dan karir.
Media masa yang merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi tentu saja menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial melalui para kuli tintanya. Akan tetapi, tentu saja kuli tinta tidak menggunakan cara-cara barbar dalam mengumpulkan informasi dan mengolahnya. Mereka bekerja di bawah kode etik yang termaktub pada UU No.40 tahun 1999. sehingga, ketika para kuli tinta berjalan di atas koridor yang berlaku seharusnya mereka juga mendapatkan perlindungan.
Kebebasan Pers vs Pengendalian media
Kejadian yang menimpa Metta Dharma Saputra wartawan majalah Tempo yang sedang menyelidiki dugaan kasus penyelewengan di Perusahan Garuda Mas milik Soekanto Tanoto melalui informannya Vincentius Amin Sutanto, mantan pegawai di perusahaan tersebut. Betul-betul membuat bising isu kebebasan pers yang mulai mendapat angin segar.
Seketika kejadian bising ini menarik perhatian kita untuk meninjau di manakah letak kebebasan sesungguhnya. Kebebasan bagi pers itu sendiri dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Pada zaman orde baru mungkin kita pahami bahwa kebebasan pers dibelenggu melalui pengendalian media dengan monitoring birokrasi tingkat tinggi. orde ini mungkin melakukannya dengan penyadapan alat telekomunikasi pers dan informannya yang tentu saja melanggar batas privasi sebagaimana telah diatur dalam UU No.36 tahun 1999 dan PP No.52 tahun 2000. apakah kegiatan pers dianggap sebagai tindakan separatis yang ingin memecah belah kesatuan NKRI?
Dalam kaitannya dengan sistem kenegaraan tentu kita mengenal istilah extra-parlementer. Dimana sistem kontroling dilakukan diluar sistem itu sendiri dengan harapan sistem akan terus membaik dan melakukan perubahan yang signifikan. Eksekutor sesungguhnya adalah Rakyat Indonesia dan pers menjadi media penyampainya. Jika sistem menggangap usaha kontrol ini sebagai sebuah ancaman, dari sudut pandang mana? Atau ada sesuatu yang lebih besar lagi dibalik berita Metta sehingga ada pihak-pihak yang merasa terancam!
Informasi faktual kadang seperti momok menakutkan bagi pihak-pihak yang berkuasa. Sebab, bisa jadi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya memberontak karena tahu penguasa itu lalim. Hal inilah yang mengakibatkan pers seringkali dijadikan lahan perebutan, karena pemberitaan sangat efektif dalam kaitannya dengan opini publik. Hingga terdapatlah sebuah kode etik Pers dan Jurnalistik, yang langsung membedakan pers hitam dan pers putih.
Pers = Detektif
Pers dalam perjalanannya seringkali menemukan sintesa baru. Dimana informasi yang telah didapat dan dirangkum kadang kala mengarah pada sesuatu yang lebih besar dan menarik. Sampai berita dengan isu yang bersifat nasional harus dihentikan sebelum data mengarah pada data yang lebih besar atau mereka akan sibuk mencari kambing hitam yang bisa dijadikan diversi.
Mengutip kata-kata Pram “Kebenaran tidak turun dari langit, kebenaran harus diperjuangkan untuk menjadi benar”, dan pribahasa timur katakan kejujuran walau kejujuran itu sakit. Maka tak heran pers seringkali menyerempet bahaya yang kadang kala membahayakan nyawa dan karir.
Media masa yang merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi tentu saja menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial melalui para kuli tintanya. Akan tetapi, tentu saja kuli tinta tidak menggunakan cara-cara barbar dalam mengumpulkan informasi dan mengolahnya. Mereka bekerja di bawah kode etik yang termaktub pada UU No.40 tahun 1999. sehingga, ketika para kuli tinta berjalan di atas koridor yang berlaku seharusnya mereka juga mendapatkan perlindungan.
Kebebasan Pers vs Pengendalian media
Kejadian yang menimpa Metta Dharma Saputra wartawan majalah Tempo yang sedang menyelidiki dugaan kasus penyelewengan di Perusahan Garuda Mas milik Soekanto Tanoto melalui informannya Vincentius Amin Sutanto, mantan pegawai di perusahaan tersebut. Betul-betul membuat bising isu kebebasan pers yang mulai mendapat angin segar.
Seketika kejadian bising ini menarik perhatian kita untuk meninjau di manakah letak kebebasan sesungguhnya. Kebebasan bagi pers itu sendiri dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Pada zaman orde baru mungkin kita pahami bahwa kebebasan pers dibelenggu melalui pengendalian media dengan monitoring birokrasi tingkat tinggi. orde ini mungkin melakukannya dengan penyadapan alat telekomunikasi pers dan informannya yang tentu saja melanggar batas privasi sebagaimana telah diatur dalam UU No.36 tahun 1999 dan PP No.52 tahun 2000. apakah kegiatan pers dianggap sebagai tindakan separatis yang ingin memecah belah kesatuan NKRI?
Dalam kaitannya dengan sistem kenegaraan tentu kita mengenal istilah extra-parlementer. Dimana sistem kontroling dilakukan diluar sistem itu sendiri dengan harapan sistem akan terus membaik dan melakukan perubahan yang signifikan. Eksekutor sesungguhnya adalah Rakyat Indonesia dan pers menjadi media penyampainya. Jika sistem menggangap usaha kontrol ini sebagai sebuah ancaman, dari sudut pandang mana? Atau ada sesuatu yang lebih besar lagi dibalik berita Metta sehingga ada pihak-pihak yang merasa terancam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar