November 21, 2006

TINGKATKAN PERANAN POM (Psikologi pendidikan)


Institusi pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA dll. Adalah salah satu lembaga terkorup setelah depag. Tentunya hal ini didasari oleh banyak faktor, diantaranya adalah terdapatnya banyak celah untuk dimanfaatkan. Tidak hanya oleh pihak tertentu, tapi berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Baik itu masyarakat, pebisnis atau bahkan orang yang masuk dalam struktural sekolah itu sendiri.

Institusi pendidikan mungkin terlihat sebagai sesuatu yang biasa, dimana hanya terdapat kegiatan belajar mengajar setiap harinya. Dengan gedung sekolah yang biasa saja, kecuali sekolah itu adalah sekolah favorit gedungnya agak terawat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah adalah prasyarat dan kebutuhan bagi rakyat dimana ketika bekerja hal pertama yang akan ditanyakan adalah ijazah. Legalitas ini tentunya membuat sekolah semakin mempunyai nilai bargain kepada rakyat dan menjadikan pendidikan legal sebagai sebuah kebutuhan.

Dalam pendidikan formal, Legalitas adalah pengakuan dari semua pihak. Semua orang tahu bahwa legalitas tidaklah murah jika ditempuh dengan jalan pintas. Oleh karena itu, orang-orang yang beruang tidak pernah pusing memikirkan pendidikan. Mereka bisa menempuh kedua jalan tersebut sekaligus jika yang satu gagal. Akan tetapi karena rata-rata penduduk Indonesia kalangan menengah ke bawah tentunya biaya sekecil apapun diluar anggaran dasar akan terasa memberatkan.

Komite sekolah yang pada dasarnya dipilih oleh kepala sekolah justru dijadikan sebagai tameng baru dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan sekolah. Padahal, komite sekolah harus menjadi wadah penyalur dan menghantarkan aroma demokratisasi di sekolah. bukan malah menghantarkan aroma privatisasi. Hantaran birokratis yang kaku pada tahap awal pemilihan anggota komite membuat komite pun bersikap kaku dan sangat birokratis dan menyebabkan peran aktif – orang tua murid – menjadi sangat ditekan.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor yang paling menentukan pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. kepala sekolah yang baik tentu akan sering mengontrol sekolah, menemukan kesalahan guru dan memberi tahu guru bagaimana meningkatkan kinerjanya. Kepala sekolah yang menjadi ujung tombak sekolah tentunya juga memegang otoritas tertinggi, dapat mengeluarkan kebijakan apapun termasuk membuka celah sendiri tak heran jika penilaian disini sungguh sangat subjektif akan tetapi sungguh sangat rasional.

Pada akhirnya tentu saja komitte sekolah tidak dapat diharapkan untuk mengawasi sepenuhnya pungutan liar yang terjadi di sekolah. Diperlukan juga dukungan langsung dari pihak orang tua murid. Karena, secara tidak langsung segala kebijakan sekolah akan berimbas pada orang tua. Orang tua tidak hanya berfungsi sebagai tempat bertanya anaknya ketika mengerjakan PR akan tetapi langsung mengawasi kinerja sekolah dalam mendidik anaknya.
Fakta yang terjadi di lapangan, kebanyakan informasi tidak langsung diterima orang tua murid. Bahkan, keberadaan komite sekolah pun jarang yang tahu. Untuk itu orang tua juga harus menyisihkan beberapa waktunya untuk mengawasi dengan membentuk sebuah lembaga inpenden pengawasan sekolah. Hal ini penting untuk mengawasi tindak-tanduk sekolah dalam melakukan manuvernya.
Pemerintah memang telah menyisihkan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang cukup besar untuk wilayah pendidikan. akan tetapi ketika sekolah dalam kondisi yang mendesak, tentu akan menggunakan caranya yang kreatif dalam memecahkan masalahnya.
Bagi saya penyimpangan dana Bos, pungutan liar di sekolah bukanlah sepenuhnya salah sekolah, juga salah siapapun. Pendidikan bagi anak bangsa adalah tanggung jawab semua orang. Jika sekolah melakukan manuver yang merugikan akan tetapi itu legal tentunya hal ini adalah suatu kreatifitas. Harapan saya hanyalah orang tua murid, komite sekolah, struktural sekolah, dan guru meyakinkan dalam diri bahwa pendidikan yang baik adalah masa depan yang cerah bagi Indonesia, semuanya saling mengingatkan dan menjaga karena kemajemukan bukan perbedaan akan tetapi persatuan yang beda.
Pandi Merdeka Nurdiansyah
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar