Abdurahman Shaleh yang diganti dengan Hendarman Sutardji merupakan harapan baru untuk kembali memberantas korupsi. Bagaimana tidak, aksi Jaksa Agung yang pada awal sangat ramai menghiasi berita-berita di media elektronik dan cetak kini sepi seperti ditelan bumi. Sby yang dipilih rakyat pada tahun 2004 kemarin cukup tepat mengganti bagian pemerintahan. Jika dilihat dari waktu, tidak terlambat karena masih ada waktu kurang lebih 2 tahun untuk menteri-menteri baru ini menunjukan semangat “barunya” yang mudah-mudahan saja positif.
Keempat menteri yang diganti, di dalam media massa menjelaskan bahwa mereka menerima dengan lapang dada untuk diganti dari jabatannya. Sby sepertinya memang dari awal sudah merencanakan pergantian ini, dimana menteri-menteri yang tidak dapat mengejar target kerjanya harus bersedia dicopot di tengah jalan.
Perhatian kita sebenarnya tertuju pada Jaksa agung. Dimana Jaksa agung merupakan tonggak utama penegakan hukum di NKRI. Setelah Abdurahman Shaleh yang cukup bagus pada gebrakan pertama dengan kasus cendananya dan koruptor lain. Dinilai sangat positif dalam menegakan pilar hukum di Indonesia, “berantas penyakit lama, cegah penyakit baru.” Toh mencegah lebih baik dari pada mengobati. Lalu, bagaimana dengan Hendarman?
Tak ada yang tahu pasti gebrakan pertama apa yang akan dilakukan Hendarman di awal masa kepemimpinannya sebagai Jaksa Agung. Sudah dapat dipastikan, PR terbesarnya adalah menegakan Hukum yang buta, yang selama ini ternyata masih jauh dari harapan. Hukum harus tetap ditegakkan. Apapun status sosialnya, bagaimanapun kondisinya, dan dimanapun dia berada. Ketegasan dan tidak tebang pilihnya Jaksa agung merupakan kriteria pertama yang dijadikan acuan. Sby pun tidak akan berani mengambil resiko jika memilih tidak pilih-pilih. Hanya saja kapan Abdurahman Sutardji ini akan melakukan gebrakan pertamanya. Hal inilah yang akan dinanti oleh rakyat yang jenuh dengan basa-basi dan Program kerja pepesan kosong.
Waktu dua tahun bukan pula waktu yang pendek karena waktu dua tahun bisa terjadi kejadian apapun yang tidak dapat kita perkirakan baik kejadian alam, sosial, politik, dll. Waktu dua tahun juga bukan waktu yang pendek untuk sebuah kepemimpinan, dua tahun cukup untuk melihat dan membuktikan apakah seorang menteri punya semangat untuk menjalankan program kerjanya. Hal ini tentu saja walau ditujukan untuk “empat” menteri yang baru, juga ditujukan untuk semua menteri dan jajaran staf dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang belum menunjukan gairah untuk bertarung.
Pada akhirnya, pergantian kepengurusan bukan hanya menimbulkan harapan baru saja. Akan tetapi juga akan membuat “peluang baru” bagi beberapa oknum yang memang sudah menunggu saat yang tepat untuk bergerak. Tinggal bagaimana Sby yang masih menjadi orang nomor satu di Indonesia menggunakan hak yang paling istimewanya untuk sesuatu yang urgent karena dibelakang setiap kebijakan Sby ada nasib jutaan rakyat yang memilihnya pada 2004 kemarin. Hal ini saya yakin harus benar-benar dipikirkan Oleh Sby. Dalam 2 tahun kedepan, atau mungkin tujuh tahun ke depan.
Pandi Nurdianyah
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aktif di LEKOMPRESS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar