Juni 26, 2008

Cerpen Ukiran

Ukiran, nama kampung yang mirip dengan pekerjaan rata-rata penduduk kampung.di sinilah kampungku, tempat aku tinggal bersama orang tuaku dan kakekku. Dari seluruh keluargaku hanya kakekku yang masih mengukir. Memang bukan hanya keluargaku saja yang mulai meninggalkan usaha ukiran, rata-rata penduduk kampung sudah berganti menjadi petani. Mereka beralasan meninggalkan kerajinan ukir karena kayu jati sudah jarang apalagi kalau mencari kayu jati emas, seperti mencari harta karunnya kapten hook, hampir mustahil. Kakekku meski sudah tua ia tetap mengukir, ukirannya sangat bagus dan rapih. dia tidak lagi melakukannya sebagai usaha. Akan tetapi, melakukannya sebagai pemuas keinginannya untuk membuat karya. Pernah aku bertanya sekali pada kakekku ketika dia sedang asyik mengukir dengan kacamata bacanya. Lampu bohlam 75 watt menerangi langsung

“kakek, kakek tidak cape kek?”

“memangnya kamu pikir pekerjaan ini cape ndoo!, pekerjaan ini justru menghilangkan cape.” jawab kakek dengan lantang.

Entah kenapa hanya kakekku yang paling kusegani di rumah, selain ibu-bapakku tentunya. Aku tinggal bersama ibu-bapak, kakekku dan tiga orang kakakku di desa tinggaldewek kecamatan Ukiran sebelah utara kota Yogyakarta. Memang pada kenyataannya kampung manapun pasti sepi, belum masuk listrik dan penuh dengan cerita hantu. Tapi untungnya kampungku sudah sedikit ramai, listrik sudah masuk dan tentu saja udaranya masih sangat bersih. Pohon-pohon masih bertebaran di muka halaman rumah, aku masih bisa melihat tupai meloncat dari pohon ke pohon lalu lari di kabel listrik, lompatannya sangat energik. Sempat terpikir bagaimana caranya tupai itu tidak bisa terkena aliran listrik yang mengalir dalam kabel. Suatu kebetulan atau memang ada penjelasannya dalam pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam).

Satu waktu ketika melihat mata kakekku saat dia menatapku ada yang lain dalam tatapannya seperti dia ingin menaruh harapan yang besar kepadaku. Harapan untuk meneruskan cita-citanya, harapan untuk melestarikan budayanya. Memang dari seluruh keluargaku yang mempunyai potensi paling besar meneruskan budaya mengukir adalah aku. Selain aku sudah menguasai teknik dasar mengukir aku juga sudah mengenal seluruh alat yang digunakan untuk mengukir, dan beberapa rahasia mengukir yang sudah diwariskan kakek kepadaku. Salah satunya adalah kayunya, seharusnya aku tidak boleh mengatakan ini kepada kalian tapi aku percaya kalian tidak akan membocorkannya kepada pengukir lain. Kayu yang dipakai untuk mengukir adalah kayu terbaik dari pohon jati emas yang sudah hidup puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, selain lebih empuk, kayunya juga akan mudah untuk diukir.

klik disini buat baca cerita lengkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar